PERENCANAAN
PARIWISATA
DI
ERA OTONOMI DAERAH
Perencanaan :
Sentralisasi Vs Desentralisasi
Sejak diberlakukannya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang satu paket dengan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bangsa Indonesia
sedang menghadapi suatu era perubahan yang mendasar dalam pembangunan nasional.
Perubahan tersebut pada prinsipnya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi atau
penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah
setingkat kabupaten.
Sejak lama bangsa ini
mengalami persoalan pada konsep sentralisasi dalam pembangunan. Selama 30 tahun
lebih, berbagai daerah merasakan ketidakadilan semata yang kemudian
mengakibatkan kecemburuan dan melahirkan gerakan-gerakan pemisahan diri dari
bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai akibatnya adalah
semua bidang pembangunan menjadi bangunan rapuh yang siap runtuh saat diterjang
badai. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sebuah budaya
yang nyata antara pengusaha dan penguasa. Bidang-bidang bisnis hanya dikuasai
oleh beberapa orang saja yang dekat dengan pemerintah. Persoalan ini di daerah
semakin rumit karena apa yang terjadi di tingkat pusat berakumulasi dengan
lebih hebat di daerah.
Krisis ekonomi
Indonesia tahun 1998 membuat kesadaran baru terhadap tuntutan daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal berdasarkan aspirasinya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hadirnya UU No. 22/1999
bagaimanapun ditujukan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam
maupun di luar negeri, sebagai tantangan untuk menghadapi era globalisasi.
Prinsip dari kebijakan tersebut adalah kesadaran akan perlunya otonomi daerah
dengan memberikan wewenang yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah
secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta potensi keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari segi substansi, undang-undang tersebut
setidaknya mengatur, antara lain mengenai pembagian daerah, pembentukan dan
susunan daerah, kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, hingga masalah kepegawaian
daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan dan dewan pertimbangan
otonomi daerah.
Permasalahan
yang dihadapi: pemerintah, swasta, dan masyarakat
Pariwisata di era
otonomi daerah adalah wujud dari cita-cita Bangsa Indonesia untuk memajukan
kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memajukan kesejahteraan
umum dalam arti bahwa pariwisata jika di kelola dengan baik, maka akan
memberikan kontribusi secara langsung pada masyarakat di sekitar daerah
pariwisata, terutama dari sektor perekonomian. Secara tidak langsung pariwisata
memberikan kontribusi signifikan kepada PAD suatu daerah dan tentu saja
pemasukan devisa bagi suatu negara.
Namun dalam
pelaksanaannya banyak menimbulkan permasalahan, baik yang dihadapi oleh
pemerintah daerah, pihak swasta, maupun masyarakat lokal. Akibat langsung yang
timbul dari pemberian otonomi daerah adalah adanya daerah basah dan daerah
kering. Hal ini disebabkan potensi dan kondisi masing-masing daerah di
Indonesia tidak sama. Daerah yang kaya akan sumber daya alam otomatis menjadi
daerah basah seiring dengan bertambahnya perolehan PAD-nya dari sektor migas
misalnya, sedangkan daerah yang minus sumber daya alam otomatis menjadi daerah
kering. Namun demikian tidak berarti daerah yang miskin dengan sumber daya alam
tidak dapat meningkatkan PAD-nya, karena jika dicermati ada beberapa potensi
daerah yang dapat digali dan dikembangkan dari sektor lain seperti sektor
pariwisata.
Yang perlu mendapat
perhatian bahwa pengembangan industri pariwisata daerah terkait dengan berbagai
faktor yang mau tidak mau berpengaruh dalam perkembangannya. Oleh karena itu
perlu diketahui dan dipahami apa saja faktor- faktor yang secara faktual
memegang peranan penting dalam pengembangan industri pariwisata daerah
khususnya dalam rangka penerapan otonomi daerah, sehingga pada akhirnya
pengembangan industri pariwisata daerah diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang cukup besar bagi peningkatan PAD dan mendorong program pembangunan daerah.
Ada beberapa isu
strategis (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang terkait dengan pariwisata
di era otonomi daerah yaitu: pertama, dalam masa penerapan otonomi daerah di
sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan
pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan
alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
a. lemahnya pemahaman
tentang pariwisata
b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah
c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi.
b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah
c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi.
Akibatnya,
pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial.
Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan
dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun
propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan
antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk
yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi
atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena
kemajuan teknologi informasi.
Isu kedua terkait
dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada
daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini
memiliki keragaman potensi kepariwisataan. Hal yang mengemuka dari pemusatan
kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung
pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak
berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu kekhasan
dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi
suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang
ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh
negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang
menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga adalah
kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para
pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk
mengembangkan produk- produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan
selera pasar.
Isu ketiga berhubungan
dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam,
ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang
menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode,
prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini
membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif,
komprehensif dan sinergis.
Isu keempat dapat
dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia
apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun
sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerah-daerah tujuan
wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata
karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya
mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum
memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan
lain sebagainya.
Memperbanyak variasi
produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip pelestarian lingkungan
dan partisipasi masyarakat, merupakan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan
pemanfaatan keunikan daerah dan persaingan di tingkat regional dengan daerah
lain. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis alam
harus memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan. Selanjutnya, pengemasan
produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini.
Produk-produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi,
sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan
pariwisata daerah menembus pasar internasional.
Sebagai konsekuensi
untuk menjawab tantangan isu dan mencapai tujuan-tujuan besar tersebut,
daerah-daerah harus melakukan inovasi, kreasi dan pengembangan-pengembangan
terhadap potensi-potensi pariwisata masing-masing daerah dengan mencari dan
menciptakan peluang-peluang baru terhadap produk-produk pariwisata yang
diunggulkan.
Kendala dan hambatan
yang dihadapi
Pembangunan sektor pariwisata di Indonesia
tentunya memiliki berbagai kendala dan hambatan, diantaranya yaitu :
·
Banyak daerah yang sebenarnya belum siap mengembangkan
kewenangan otonomi daerah.
·
Belum ada kepastian hukum, sehingga terjadi banyak
pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan terkait dengan
pembangunan pariwisata.
·
Banyak kebijakan dan peraturan baru di daerah yang tidak
kondusif untuk melakukan investasi.
·
Kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat terhaadap pariwisata
masih relatif rendah, citra keamanan yang relatif masih negatif.
Sejak awal hadirnya,
kebijakan otonomi daerah telah mendapat banyak kritik, terutama terhadap
munculnya arogansi daerah. Arogansi ini diakibatkan berbagai keunggulan yang
dimiliki suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain. Ada yang meyebut
kebijakan tersebut akan membuat makin melebarnya jurang kesenjangan
antar-daerah yang selama ini menjadi masalah bagi Indonesia. Artinya, daerah
yang kaya akan semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan bertambah
miskin. Ancaman yang paling serius, adalah munculnya paradigma sektoral yang
menggilas peran lintas sektoral pariwisata. Tema Indonesia akan makin pudar
ditelan tema-tema kedaerahan, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap
pembangunan faktor pendukung pariwisata, seperti aksesibilitas, amenitas,
atraksi, maupun promosi. Padahal, kita semua menyadari bahwa lintas sektoral
dan tema ke-Indonesia-an merupakan inti dari pariwisata Indonesia masa kini dan
masa datang. Namun, ada satu siasat untuk mengantisipasi ini, yaitu dengan
berpikir Indonesia dan bertindak lokal, think globally act locally.
Jadi ketika kebijakan diterapkan, setiap pemda maupun industri pariwisata harus
memiliki konsep ini. Berpikir Indonesia berarti tidak menutup diri bagi
kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan daerah.
Selain itu, muncul
pula kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menyebabkan sentimen kedaerahan
akan makin kuat. Boleh jadi akan tercipta kelompok-kelompok monokultur
berdasarkan SARA di berbagai daerah. Misalnya, di Aceh yang kebetulan adalah
mayoritas muslim, maka dari gubemur hingga kepala desa, dari pengusaha hingga
karyawan biasa, pasti kebanyakan akan muslim. Demikian juga di daerah Indonesia
Timur, karena mayoritas Kristen akan terjadi pemblokan kekuatan yang hanya
didasarkan pada agama Kristen semata. Akibatnya, cita-cita kehidupan pluralisme
sebagai bangsa Indonesia justru akan terganggu, bahkan membuka peluang bagi
berulangnya friksi yang berdasarkan SARA.
Dalam
kaitannya dengan dunia pariwisata, kemungkinan seperti ini, tentu saja
menyulitkan pariwisata kita yang terkenal sangat mengandalkan heterogenitas
dalam pelaksanaannya. Dari segi pertumbuhan usaha, keadilan berusaha dalam
bidang wisata menjadi terganggu, sebab tidak mustahil seorang pelaku bisnis
yang berasal dari daerah lain, mendapat kesulitan dalam mengembangkan bisnisnya
di daerah lain karena hambatan blokade SARA tersebut.
Ancaman
lain dapat berupa ketidakadilan dalam memberlakukan dan menarik pajak bagi
daerah dari industri pariwisata. Kewajiban pemda untuk memacu penerimaan daerah
melalui pajak dan penguatan lain yang sah, dikhawatirkan malah membengkak
dibanding sebelum diterapkannya UU No. 22/1999. Sebenarnya ancaman demikian ini
memang meragukan, sebab pada dasarnya setiap pemda justru akan membuka diri
bagi industri apapun agar daerah dapat berkembang. Hal itu akan dipacu dengan
pemberian insentif seperti keringanan pajak dan lainnya. Kalau ada pemda yang
nekad melakukan “pemaksaan” pengenaan pajak yang dinilai kelewatan, pasti para
investor maupun pengusaha akan berpikir panjang untuk menanamkan investasinya.
Persoalan
yang sangat rumit terjadi dalam bidang pariwisata di berbagai daerah setelah
pelaksanaan undang-undang itu, adalah aksesibilitas, seperti bandar udara,
pelabuhan laut, jaringan jalan, dan transportasi. Seperti diketahui, faktor
maju mundurnya pariwisata sangat tergantung pada ada atau tidak dan baik atau
buruk suatu aksesibilitas dari dan ke daerah tujuan wisata (DTW) di berbagai
daerah. Sebagai contoh yang layak dipertanyakan, bagaimana nasib bandara atau
pelabuhan laut yang ada di daerah setelah nantinya daerah diberikan wewenang
penuh untuk menanganinya dan atau membiayainya?
Bagi daerah-daerah
yang memiliki PAD tinggi, mungkin tidak punya persoalan, sebab pemutusan
subsidi bagi operasionalisasi bandara maupun palabuhan laut akibat
undang-undang otonomi dapat ditanggung setiap provinsi, sehingga tetap dapat
beroperasi, bahkan dipacu lebih jauh melalui kebijakan otonomi. Tapi bagaimana
dengan daerah lain, yang memiliki PAD kecil. Dari mana mereka akan menggali
dana untuk mengoperasikan bandara maupun pelabuhan laut? Bukankah lebih baik
mereka menutup saja sebab terbukti operasionalisasinya hanya membuat
pemda tekor? Itu baru bicara bandara, bagaimana dengan pelabuhann
laut, maupun jaringan jalan? Dari mana mereka akan mengumpulkan dana bagi
pembangunan maupun perbaikan aksesibilitas jalan raya? Sebagai akibatnya,
pariwisata akan tidak akan pernah berkembang di daerah-daerah tersebut. Bila
otonomi sudah sepenuhnya diberikan, maka ada beberapa daerah yang mengalami
kebangkrutan.
Dilihat dari semangat
UU yang ingin menciptakan kreativitas bagi masyarakat maupun dunia usaha di
daerah, maka kita dapat membayangkan adanya berbagai kemudahan yang akan
ditawarkan Pemda kepada masyarakat maupun dunia usaha di daerah. Di atas telah
disebutkan beberapa dampak positif UU No. 2/1999, seperti kemudahan perizinan
dalam arti birokrasi maupun pembiayaan, dan lainnya. Narnun begitu bukan
berarti tidak ada ancaman serius dalam dunia pariwisata di daerah. Sama seperti
aksesbibilitas, ditakutkan pembangunan hotel dan objek wisata hanya akan
terjadi pada daerah-daerah yang kaya saja. Dengan kata lain, daerah-daerah yang
miskin akan menelantarkan objek-objek wisata karena ketidakmampuan untuk
menyediakan dana perawatan atau pengembangannya. Demikian juga dengan
hotel-hotel atau prasarana penginapan lainnya, akan terjadi pola penumpukan
hotel pada satu daerah tertentu yang pada tahap selanjutnya akan menambah
keruwetan dalam penanganan dan menciptakan persaingan sehat antar-hotel.
Demikian juga promosi, makin sulit untuk melakukan penyamaan visi
ke-Indonesiaan dalam rangka pengumpulan dana promosi bersama dari daerah. Untuk
itu, perlu dilakukan reformasi dalam bidang promosi ini, sehingga nantinya
justru meninggalkan keadaan yang lebih buruk dari yang pernah ada.
Keuntungan
dan kelemahan
UU Otonomi Daerah
tentu memberikan keuntungan terhadap pengembangan dan perkembangan industri
pariwisata. Adapun keuntungan dalam
kegiatan pengembangan pariwisata di daerah adalah sebagai berikut :
·
Setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya
sendiri, termasuk kebijakan pengelolaan sumber daya pariwisata di daerah
masing-masing.
·
Hampir seluruh daerah memiliki potensi kepariwisataan yang layak
dijual.
·
Memiliki potensi pariwisata yang kaya dan beragam, mencakup
jenis wisata alam, laut, sungai, gunung, flora dan fauna, budaya, sejarah,
agama, aneka seni atraksi, konvensi, pameran, olahraga, dan sebagainya.
·
Letak gografis Indonesia yang strategis untuk pengembangan
destinasi pariwisata.
·
Budaya masyarakat yang adaptif dan terbuka terhadap orang luar
dan perubahan baru.
·
Aksesibilitas di beberapa daerah yang sudah mulai cukup memadai
sebagai bagian dari program pengembangan pariwisata.
Sedangkan kelemahan
penerapan UU Otonomi Daerah terhadap pembangunan sektor pariwisata di
Indonesia, diantaranya yaitu :
·
Banyak daerah yang sebenarnya belum siap mengembangkan
kewenangan otonomi daerah.
·
Belum ada kepastian hukum, sehingga terjadi banyak
pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan terkait dengan
pembangunan pariwisata.
·
Banyak kebijakan dan peraturan baru di daerah yang tidak
kondusif untuk melakukan investasi.
·
Kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pariwisata
masih relatif rendah, citra keamanan yang relatif masih negatif.
Rekomendasi
Upaya pengembangan
industri panwisata daerah-daerah di Indonesia terutama dalam menghadapi otonomi
daerah berkaitan erat dengan berbagai faktor. Oleh karena itu perlu dipahami
faktor-faktor yang secara faktual berperan dalam pengembangan industri
pariwisata khususnya di daerah-daerah, yaitu:
a). Kualitas Sumber Daya Manusia
Salah satu kunci sukses
pariwisata di Indonesia adalah human
resources development diberbagai subsistem pariwisata tersebut. Ini
menunjukkan bahwa somber daya manusia yang berkualitas memegang peranan yang
sangat penting dalam pengembangan industri pariwisata terutama ketika
pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan otonomi daerah.
Profesionalisme sumber
daya manusia Indonesia merupakan suatu tuntutan dalam menghadapi persaingan
global dimana sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia
yang berkualitas, mempunyai gagasan, inovasi dan etos kerja profesional. Tentu
tidak mudah untuk memperoleh tenaga-tenaga profesional di bidang pariwisata
paling tidak harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan
tenaga kepariwisataan, sehingga pada akhirnya peningkatan kualitas sumber daya
manusia terutama di daerah-daerah tujuan wisata berpengaruh positif pada
perkembangan industri pariwisata daerah.
b). Promosi Kepariwisataan
Upaya-upaya pengenalan
potensi-potensi budaya dan alam di daerah-daerah Indonesia dilakukan dengan
jalan melakukan promosi kepariwisataan. Pada abad 21, di mana perkembangan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi demikian pesat maka diperkirakan
akan terjadi persaingan di pasar global khususnya persaingan di bidang industri
pariwisata. Oleh karenanya promosi kepariwisataan merupakan suatu strategi yang
harus dilakukan secara berkesinambungan baik di tingkat internasional maupun
regional.
Sehubungan dengan
kebijakan pemerintah Indonesia mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, maka
masing-masing daerah diharapkan mampu menarik para wisatawan baik mancanegara
maupun domestik untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata yang ada di Indonesia
dengan jalan semakin meningkatkan promosi kepariwisataannya.
Adalah kenyataan pahit
ketika indutri pariwisata di Indonesia mengalami krisis mulai tahun 1997 sampai
dengan tahun 2004 sebagai akibat ketidakstabilan politik, keamanan, dan
ekonomi. Merosotnya jumlah wisatawan di daerah-daerah tujuan wisata pada saat
itu merupakan bukti bahwa situasi dan kondisi politik keamanan, dan ekonomi
suatu negara berdampak pada terganggunya seluruh kegiatan kepariwisataan.
Prospek pertumbuhan
industri pariwisata sangat tergantung pada banyak faktor. Dalam hal ini aspek
promosi merupakan salah faktor penentu pengembangan potensi pariwisata
khususnya di daerah-daerah Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa promosi
memainkan peran kunci dalam kinerja masa mendatang industri pariwisata
Indonesia.
c). Sarana dan Prasarana Kepariwisataan
Motivasi yang
mendorong orang untuk mengadakan perjalanan akan menimbulkan
permintaan-permintaan yang sama mengenai prasarana dan sarana kepariwisataan
seperti jaringan telekomunikasi, akomodasi dan lain sebagainya. Dalam hal ini
kesiapan sarana dan. prasarana kepariwisataan merupakan salah satu faktor
penentu berhasilnya pengembangan industri pariwisata daerah. Terlebih ketika
program otonomi telah diterapkan, maka masing-masing daerah dituntut untuk
lebih memberikan perhatiannya pada penyediaan sarana prasarana kepariwisataan
yang memadai dan paling tidak sesuai dengan standar intemasional.
Pengusahaan obyek dan
daya tarik wisata meliputi kegiatan membangun dan mengelola obyek dan daya
tarik wisata beserta prasarana dan sarana yang diperlukan. Dengan demikian
perlu adanya pembangunan dan pengelolaan sarana prasarana di daerah-daerah
tujuan wisata untuk mendukung penyelenggaraan pariwisata.
Sarana prasarana
tempat merupakan unsur pokok dalam mata rantai kegiatan industri pariwisata.
Apabila pembenahan dan pengelolaan sarana prasarana kepariwisataan
ditelantarkan akan berakibat pada tidak tercapainya dampak positif industri
pariwisata dalam peningkatan PAD, penciptaan lapangan kerja dan sebagai
pendorong pembangunan daerah.
Ketiga faktor di atas
merupakan faktor kritis. yang perlu mendapat perhatian serius dalam rangka
pengembangan industri pariwisata daerah. Tujuan pengembangan industri
pariwisata daerah dapat tercapai apabila ketiga faktor tersebut dilaksanakan
secara terpadu dan berkesinambungan. Hanya saja perlu disadari bahwa pengembangan
pariwisata sebagai industri memerlukan biaya yang tidak sedikit. Terlebih
dengan mulai diterapkannya otonomi daerah, maka pola perencanaan yang terpadu
mutlak diperlukan sebelum mulai dengan pengembangan industri pariwisata.
Pada dasamya,
perencanaan bermaksud memberi batasan tentang tujuan yang hendak dicapai dan
menentukan cara mencapai tujuan yang dimaksudkan Dengan demikian pengembangan
industri pariwisata suatu daerah perlu mempertimbangkan segala macam aspek. Ini
disebabkan industri pariwisata merupakan industri jasa yang tidak dapat berdiri
sendiri, akan tetapi selalu berkaitan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan berbagai sektor lain. Jadi maju mundumya industri pariwisata
tidak hanya tergantung pada sektor pariwisata saja.
Adapun strategi dalam
kegiatan pengembangan pariwisata di daerah yaitu: (1) Adanya pemahaman yang benar dan tepat mengenai otonomi daerah di
kalangan pemerintah, legislatif, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat
luas, (2) Pembangunan parwisata daerah hendaknya berorientasi pada
pemanfaatan sumber daya pariwisata dalam jangka panjang dengan melibatkan
partisipasi masyarakat sekitar sejak dari awal, (3) Penyusunan rencana dasar pembangunan pariwisata di daerah,
kiranya perlu memperhatikan dan diselaraskan dengan kebijakan nasional
pembangunan pariwisata, (4) Perlu mengembangkan suatu pendekatan strategi pembangunan daerah
yang berporos pada pariwisata dan terintegrasi dengan semua aspek kehidupan
masyarakat yang saling bersinergi, selaras, seimbang dan saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Paturusi,
Syamsul Alam. 2015. Materi Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata.
Denpasar: Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana.
Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Yoeti,
Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Pradnya
Paramita