Sepenggal pemikiran dari warga
masyarakat yang peduli akan kelangsungan adat dan budaya Bali
Om
Swastyastu,
Lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang
merupakan babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa
saat ini menimbulkan polemik dalam tatanan masyarakat Bali. Kehadiran UU Desa
ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah
wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai
kesatuan adat di Nusantara. Berbagai pandangan muncul dalam wacana diskusi
masyarakat Bali. Pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Legislatif,
Majelis Desa Pakraman, praktis dan akademisi terus melemparkan “bola panas” ke
tengah-tengah masyarakat Bali, yang sampai saat ini belum menemukan titik temu
terkait desa mana yang akan didaftarkan.
Oleh karena itu, sebagai warga masyarakat Bali saya merasa
terpanggil untuk ikut serta memberikan pandangan saya terhadap Uudang-Undang
Desa ini. Lahirnya UU Desa pada prinsipnya memiliki tujuan yang sangat mulia
yaitu sebagai bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kewenangan otonom pada
pemerintahan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bali mungkin sebagai
salah satu daerah yang paling tersentuh oleh lahirnya UU ini, apalagi untuk
pertama kali keberadaan desa adat diakui secara hokum setingkat undang-undang.
Namun setelah dicermati, beberapa pasal UU Desa ini tidak sejalan dengan
kondisi riil desa-desa di Bali, sehingga penerapannya akan sulit.
Salah satu tujuan lahirnya
UU Desa adalah ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran
desa, dimana rata-rata masing-masing desa berpeluang mendapatkan pendanaan dari
pemerintah pusat sebesar 1,4 Milyar rupiah. Padahal kalau kita melihat
kebelakang, otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota)
menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat
kesalahan dalam pengelolaan administrasi keuangan. Apalagi kalau anggaran
sebesar itu dikelola langsung oleh desa adat, bagaimana kesiapan SDM masyarakat
desa dalam pengelolaan dan pertanggung jawabannya. Disamping itu, pengelolaan
dana yang sedemikian besar akan dapat mengaburkan filosofi “NGAYAH” prajuru
desa adat selama ini yang akan rentan menimbulkan konflik-konflik horizontal
dalam masyarakat dan dapat membangkitkan sifat materialistis dan komodifikasi
dalam pengelolaan aset-aset desa adat.
Semestinya hak-hak otonomi asli tidak
boleh dicampuri oleh pihak manapun termasuk Negara, sepanjang tidak
bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seperti
halnya Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Adat/Desa Pekraman sama sekali tidak
mengatur tentang hak otonomi asli pada masing-masing desa pakraman, tetapi
hanya bersifat mengayomi, melindungi dan menghormati tatanan asli yang sudah ada saat ini. Akan menjadi
aneh jika kemudian desa pakraman di Bali menyerahkan sebagaian urusannya kepada
Negara/desa dinas. Pilihan tersebut juga akan mengalami kendala dalam hal
filosofi, kependudukan, penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan, aset dan
batas wilayah, karena terdapat beberapa desa adat di Bali yang mewilayahi
beberapa desa dinas yang berbeda wilayah Kabupaten/Kota seperti yang banyak
terdapat di wilayah Denpasar dan Badung.
Bahkan jika UU Desa ini diterapkan
maka akan menjadi pembenar bahwa selama ini di Bali terjadi “dualisme”
manajemen pemerintahan desa. Padahal, tatanan
yang sudah ada saat ini tidak pernah
menimbulkan permasalahan maupun pertentangan “kekuasaan” antara desa dinas dan
desa adat. Kalau demikian, kenapa harus dipermasalahkan? Jangan-jangan ada
kepentingan lain yang sengaja ingin melegalisasi dan memasukan tatanan desa
adat ke ranah hukum positif dan masuk dalam struktur birokrasi pemerintah, yang
secara logika jelas-jelas dapat melemahkan kewenangan dan otonomi pemerintahan
desa adat sendiri. Karena secara struktural dan hokum berada dibawah garis
birokrasi pemerintahan yang ada di atasnya.
Mengapa Majelis Utama Desa Pakraman
(MUDP) yang saat ini menjadi pengayom dan pelindung tertinggi majelis desa
pakraman di Bali juga memposisikan pilihan untuk mendaftarkan desa adat?
padahal pilihan itu tentunya berkonsekwensi akan melemahkan otoritas dari MUDP
sendiri karena secara garis struktur birokrasi, desa adat yang didaftarkan akan
berada di bawah pemerintah Kecamatan dan pemerintahan Kabupaten.
Perlu juga diketahui bahwa dalam
pasal 8 butir (3) disebutkan bahwa desa yang didaftarkan harus memenuhi syarat
(untuk wilayah Bali) paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga,
jadi tidak semua desa adat di Bali akan memenuhi syarat untuk di daftarkan.
Kesimpulannya, kalau selama ini ternyata tidak ada permasalahan, dan
batas-batas kewenangan antara desa adat dan desa dinas di Bali sudah sangat
jelas, kenapa harus berfikir untuk dirubah? Biarkan desa dinas yang mengatur
masalah administrasi kedinasan, dan desa adat berwenang mengatur tatanan ritual
adat budaya Bali, toh dalam prakteknya selama ini di Bali masing-masing saling
bersinergi dan saling menghormati. Marilah kita berfikir jernih untuk menyikapi
polemik ini, jangan arahkan masyarakat
Bali untuk berfikir materialistis dan lokal sentris di tengah eforia otonomi
daerah. Karena pilihan kita sekarang akan menentukan nasib dan kelestarian
tatanan adat dan budaya Bali di masa yang akan datang.
Penulis tidak lupa mohon maaf dan
mohon masukan dari berbagai pihak, untuk meluruskan jika tulisan ini keliru.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Penulis,
I Wayan Wiwin, SST.Par., M.Par
(Staf Pengajar di IHDN Denpasar)