Friday, 9 January 2015

Dualisme pandangan masyarakat Bali terhadap Undang-Undang Desa


Sepenggal  pemikiran dari warga masyarakat  yang  peduli akan kelangsungan adat dan budaya Bali

Om Swastyastu,
Lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang merupakan babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa saat ini menimbulkan polemik dalam tatanan masyarakat Bali. Kehadiran UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Berbagai pandangan muncul dalam wacana diskusi masyarakat Bali. Pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Legislatif, Majelis Desa Pakraman, praktis dan akademisi terus melemparkan “bola panas” ke tengah-tengah masyarakat Bali, yang sampai saat ini belum menemukan titik temu terkait desa mana yang akan didaftarkan.
Oleh karena itu, sebagai warga masyarakat Bali saya merasa terpanggil untuk ikut serta memberikan pandangan saya terhadap Uudang-Undang Desa ini. Lahirnya UU Desa pada prinsipnya memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu sebagai bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kewenangan otonom pada pemerintahan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bali mungkin sebagai salah satu daerah yang paling tersentuh oleh lahirnya UU ini, apalagi untuk pertama kali keberadaan desa adat diakui secara hokum setingkat undang-undang. Namun setelah dicermati, beberapa pasal UU Desa ini tidak sejalan dengan kondisi riil desa-desa di Bali, sehingga penerapannya akan sulit.
Salah satu tujuan lahirnya UU Desa adalah ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa, dimana rata-rata masing-masing desa berpeluang mendapatkan pendanaan dari pemerintah pusat sebesar 1,4 Milyar rupiah. Padahal kalau kita melihat kebelakang, otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat kesalahan dalam pengelolaan administrasi keuangan. Apalagi kalau anggaran sebesar itu dikelola langsung oleh desa adat, bagaimana kesiapan SDM masyarakat desa dalam pengelolaan dan pertanggung jawabannya. Disamping itu, pengelolaan dana yang sedemikian besar akan dapat mengaburkan filosofi “NGAYAH” prajuru desa adat selama ini yang akan rentan menimbulkan konflik-konflik horizontal dalam masyarakat dan dapat membangkitkan sifat materialistis dan komodifikasi dalam pengelolaan aset-aset desa adat.
Semestinya hak-hak otonomi asli tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun termasuk Negara, sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seperti halnya Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Adat/Desa Pekraman sama sekali tidak mengatur tentang hak otonomi asli pada masing-masing desa pakraman, tetapi hanya bersifat mengayomi, melindungi dan menghormati tatanan  asli yang sudah ada saat ini. Akan menjadi aneh jika kemudian desa pakraman di Bali menyerahkan sebagaian urusannya kepada Negara/desa dinas. Pilihan tersebut juga akan mengalami kendala dalam hal filosofi, kependudukan, penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan, aset dan batas wilayah, karena terdapat beberapa desa adat di Bali yang mewilayahi beberapa desa dinas yang berbeda wilayah Kabupaten/Kota seperti yang banyak terdapat di wilayah Denpasar dan Badung.
Bahkan jika UU Desa ini diterapkan maka akan menjadi pembenar bahwa selama ini di Bali terjadi “dualisme” manajemen pemerintahan desa. Padahal,  tatanan yang sudah ada saat ini  tidak pernah menimbulkan permasalahan maupun pertentangan “kekuasaan” antara desa dinas dan desa adat. Kalau demikian, kenapa harus dipermasalahkan? Jangan-jangan ada kepentingan lain yang sengaja ingin melegalisasi dan memasukan tatanan desa adat ke ranah hukum positif dan masuk dalam struktur birokrasi pemerintah, yang secara logika jelas-jelas dapat melemahkan kewenangan dan otonomi pemerintahan desa adat sendiri. Karena secara struktural dan hokum berada dibawah garis birokrasi pemerintahan yang ada di atasnya. 
Mengapa Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang saat ini menjadi pengayom dan pelindung tertinggi majelis desa pakraman di Bali juga memposisikan pilihan untuk mendaftarkan desa adat? padahal pilihan itu tentunya berkonsekwensi akan melemahkan otoritas dari MUDP sendiri karena secara garis struktur birokrasi, desa adat yang didaftarkan akan berada di bawah pemerintah Kecamatan dan pemerintahan Kabupaten.
Perlu juga diketahui bahwa dalam pasal 8 butir (3) disebutkan bahwa desa yang didaftarkan harus memenuhi syarat (untuk wilayah Bali)  paling sedikit  5.000 (lima ribu)  jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga, jadi tidak semua desa adat di Bali akan memenuhi syarat untuk di daftarkan. Kesimpulannya, kalau selama ini ternyata tidak ada permasalahan, dan batas-batas kewenangan antara desa adat dan desa dinas di Bali sudah sangat jelas, kenapa harus berfikir untuk dirubah? Biarkan desa dinas yang mengatur masalah administrasi kedinasan, dan desa adat berwenang mengatur tatanan ritual adat budaya Bali, toh dalam prakteknya selama ini di Bali masing-masing saling bersinergi dan saling menghormati. Marilah kita berfikir jernih untuk menyikapi polemik  ini, jangan arahkan masyarakat Bali untuk berfikir materialistis dan lokal sentris di tengah eforia otonomi daerah. Karena pilihan kita sekarang akan menentukan nasib dan kelestarian tatanan adat dan budaya Bali di masa yang akan datang. 
Penulis tidak lupa mohon maaf dan mohon masukan dari berbagai pihak, untuk meluruskan jika tulisan ini keliru.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Penulis,
I Wayan Wiwin, SST.Par., M.Par
(Staf Pengajar di IHDN Denpasar)