Friday, 17 April 2015

PERENCANAAN PARIWISATA
DI ERA OTONOMI DAERAH

Perencanaan : Sentralisasi Vs Desentralisasi
Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang satu paket dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bangsa Indonesia sedang menghadapi suatu era perubahan yang mendasar dalam pembangunan nasional. Perubahan tersebut pada prinsipnya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi atau penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah setingkat kabupaten.
Sejak lama bangsa ini mengalami persoalan pada konsep sentralisasi dalam pembangunan. Selama 30 tahun lebih, berbagai daerah merasakan ketidakadilan semata yang kemudian mengakibatkan kecemburuan dan melahirkan gerakan-gerakan pemisahan diri dari bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai akibatnya adalah semua bidang pembangunan menjadi bangunan rapuh yang siap runtuh saat diterjang badai. Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sebuah budaya yang nyata antara pengusaha dan penguasa. Bidang-bidang bisnis hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yang dekat dengan pemerintah. Persoalan ini di daerah semakin rumit karena apa yang terjadi di tingkat pusat berakumulasi dengan lebih hebat di daerah.
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 membuat kesadaran baru terhadap tuntutan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal berdasarkan aspirasinya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hadirnya UU No. 22/1999 bagaimanapun ditujukan untuk menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, sebagai tantangan untuk menghadapi era globalisasi. Prinsip dari kebijakan tersebut adalah kesadaran akan perlunya otonomi daerah dengan memberikan wewenang yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari segi substansi, undang-undang tersebut setidaknya mengatur, antara lain mengenai pembagian daerah, pembentukan dan susunan daerah, kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah, peraturan daerah dan keputusan kepala daerah, hingga masalah kepegawaian daerah, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan dan dewan pertimbangan otonomi daerah.

Permasalahan yang dihadapi: pemerintah, swasta, dan masyarakat
Pariwisata di era otonomi daerah adalah wujud dari cita-cita Bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memajukan kesejahteraan umum dalam arti bahwa pariwisata jika di kelola dengan baik, maka akan memberikan kontribusi secara langsung pada masyarakat di sekitar daerah pariwisata, terutama dari sektor perekonomian. Secara tidak langsung pariwisata memberikan kontribusi signifikan kepada PAD suatu daerah dan tentu saja pemasukan devisa bagi suatu negara.
Namun dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan permasalahan, baik yang dihadapi oleh pemerintah daerah, pihak swasta, maupun masyarakat lokal. Akibat langsung yang timbul dari pemberian otonomi daerah adalah adanya daerah basah dan daerah kering. Hal ini disebabkan potensi dan kondisi masing-masing daerah di Indonesia tidak sama. Daerah yang kaya akan sumber daya alam otomatis menjadi daerah basah seiring dengan bertambahnya perolehan PAD-nya dari sektor migas misalnya, sedangkan daerah yang minus sumber daya alam otomatis menjadi daerah kering. Namun demikian tidak berarti daerah yang miskin dengan sumber daya alam tidak dapat meningkatkan PAD-nya, karena jika dicermati ada beberapa potensi daerah yang dapat digali dan dikembangkan dari sektor lain seperti sektor pariwisata.
Yang perlu mendapat perhatian bahwa pengembangan industri pariwisata daerah terkait dengan berbagai faktor yang mau tidak mau berpengaruh dalam perkembangannya. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipahami apa saja faktor- faktor yang secara faktual memegang peranan penting dalam pengembangan industri pariwisata daerah khususnya dalam rangka penerapan otonomi daerah, sehingga pada akhirnya pengembangan industri pariwisata daerah diharapkan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan PAD dan mendorong program pembangunan daerah.
Ada beberapa isu strategis (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang terkait dengan pariwisata di era otonomi daerah yaitu: pertama, dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
a. lemahnya pemahaman tentang pariwisata
b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah
c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi.
Akibatnya, pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi.
Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan. Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk- produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar.
Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif, komprehensif dan sinergis.
Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerah-daerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan lain sebagainya.
Memperbanyak variasi produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip pelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat, merupakan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan daerah dan persaingan di tingkat regional dengan daerah lain. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis alam harus memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan. Selanjutnya, pengemasan produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produk-produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan pariwisata daerah menembus pasar internasional.
Sebagai konsekuensi untuk menjawab tantangan isu dan mencapai tujuan-tujuan besar tersebut, daerah-daerah harus melakukan inovasi, kreasi dan pengembangan-pengembangan terhadap potensi-potensi pariwisata masing-masing daerah dengan mencari dan menciptakan peluang-peluang baru terhadap produk-produk pariwisata yang diunggulkan.

Kendala dan hambatan yang dihadapi
Pembangunan sektor pariwisata di Indonesia tentunya memiliki berbagai kendala dan hambatan, diantaranya yaitu :
·         Banyak daerah yang sebenarnya belum siap mengembangkan kewenangan otonomi daerah.
·         Belum ada kepastian hukum, sehingga terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan terkait dengan pembangunan pariwisata.
·         Banyak kebijakan dan peraturan baru di daerah yang tidak kondusif untuk melakukan investasi.
·         Kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat terhaadap pariwisata masih relatif rendah, citra keamanan yang relatif masih negatif.
Sejak awal hadirnya, kebijakan otonomi daerah telah mendapat banyak kritik, terutama terhadap munculnya arogansi daerah. Arogansi ini diakibatkan berbagai keunggulan yang dimiliki suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain. Ada yang meyebut kebijakan tersebut akan membuat makin melebarnya jurang kesenjangan antar-daerah yang selama ini menjadi masalah bagi Indonesia. Artinya, daerah yang kaya akan semakin kaya, sementara daerah yang miskin akan bertambah miskin. Ancaman yang paling serius, adalah munculnya paradigma sektoral yang menggilas peran lintas sektoral pariwisata. Tema Indonesia akan makin pudar ditelan tema-tema kedaerahan, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap pembangunan faktor pendukung pariwisata, seperti aksesibilitas, amenitas, atraksi, maupun promosi. Padahal, kita semua menyadari bahwa lintas sektoral dan tema ke-Indonesia-an merupakan inti dari pariwisata Indonesia masa kini dan masa datang. Namun, ada satu siasat untuk mengantisipasi ini, yaitu dengan berpikir Indonesia dan bertindak lokal, think globally act locally. Jadi ketika kebijakan diterapkan, setiap pemda maupun industri pariwisata harus memiliki konsep ini. Berpikir Indonesia berarti tidak menutup diri bagi kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan daerah.
Selain itu, muncul pula kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan menyebabkan sentimen kedaerahan akan makin kuat. Boleh jadi akan tercipta kelompok-kelompok monokultur berdasarkan SARA di berbagai daerah. Misalnya, di Aceh yang kebetulan adalah mayoritas muslim, maka dari gubemur hingga kepala desa, dari pengusaha hingga karyawan biasa, pasti kebanyakan akan muslim. Demikian juga di daerah Indonesia Timur, karena mayoritas Kristen akan terjadi pemblokan kekuatan yang hanya didasarkan pada agama Kristen semata. Akibatnya, cita-cita kehidupan pluralisme sebagai bangsa Indonesia justru akan terganggu, bahkan membuka peluang bagi berulangnya friksi yang berdasarkan SARA.
Dalam kaitannya dengan dunia pariwisata, kemungkinan seperti ini, tentu saja menyulitkan pariwisata kita yang terkenal sangat mengandalkan heterogenitas dalam pelaksanaannya. Dari segi pertumbuhan usaha, keadilan berusaha dalam bidang wisata menjadi terganggu, sebab tidak mustahil seorang pelaku bisnis yang berasal dari daerah lain, mendapat kesulitan dalam mengembangkan bisnisnya di daerah lain karena hambatan blokade SARA tersebut.
Ancaman lain dapat berupa ketidakadilan dalam memberlakukan dan menarik pajak bagi daerah dari industri pariwisata. Kewajiban pemda untuk memacu penerimaan daerah melalui pajak dan penguatan lain yang sah, dikhawatirkan malah membengkak dibanding sebelum diterapkannya UU No. 22/1999. Sebenarnya ancaman demikian ini memang meragukan, sebab pada dasarnya setiap pemda justru akan membuka diri bagi industri apapun agar daerah dapat berkembang. Hal itu akan dipacu dengan pemberian insentif seperti keringanan pajak dan lainnya. Kalau ada pemda yang nekad melakukan “pemaksaan” pengenaan pajak yang dinilai kelewatan, pasti para investor maupun pengusaha akan berpikir panjang untuk menanamkan investasinya.
Persoalan yang sangat rumit terjadi dalam bidang pariwisata di berbagai daerah setelah pelaksanaan undang-undang itu, adalah aksesibilitas, seperti bandar udara, pelabuhan laut, jaringan jalan, dan transportasi. Seperti diketahui, faktor maju mundurnya pariwisata sangat tergantung pada ada atau tidak dan baik atau buruk suatu aksesibilitas dari dan ke daerah tujuan wisata (DTW) di berbagai daerah. Sebagai contoh yang layak dipertanyakan, bagaimana nasib bandara atau pelabuhan laut yang ada di daerah setelah nantinya daerah diberikan wewenang penuh untuk menanganinya dan atau membiayainya?
Bagi daerah-daerah yang memiliki PAD tinggi, mungkin tidak punya persoalan, sebab pemutusan subsidi bagi operasionalisasi bandara maupun palabuhan laut akibat undang-undang otonomi dapat ditanggung setiap provinsi, sehingga tetap dapat beroperasi, bahkan dipacu lebih jauh melalui kebijakan otonomi. Tapi bagaimana dengan daerah lain, yang memiliki PAD kecil. Dari mana mereka akan menggali dana untuk mengoperasikan bandara maupun pelabuhan laut? Bukankah lebih baik mereka menutup saja sebab terbukti operasionalisasinya hanya membuat pemda tekor? Itu baru bicara bandara, bagaimana dengan pelabuhann laut, maupun jaringan jalan? Dari mana mereka akan mengumpulkan dana bagi pembangunan maupun perbaikan aksesibilitas jalan raya? Sebagai akibatnya, pariwisata akan tidak akan pernah berkembang di daerah-daerah tersebut. Bila otonomi sudah sepenuhnya diberikan, maka ada beberapa daerah yang mengalami kebangkrutan.
Dilihat dari semangat UU yang ingin menciptakan kreativitas bagi masyarakat maupun dunia usaha di daerah, maka kita dapat membayangkan adanya berbagai kemudahan yang akan ditawarkan Pemda kepada masyarakat maupun dunia usaha di daerah. Di atas telah disebutkan beberapa dampak positif UU No. 2/1999, seperti kemudahan perizinan dalam arti birokrasi maupun pembiayaan, dan lainnya. Narnun begitu bukan berarti tidak ada ancaman serius dalam dunia pariwisata di daerah. Sama seperti aksesbibilitas, ditakutkan pembangunan hotel dan objek wisata hanya akan terjadi pada daerah-daerah yang kaya saja. Dengan kata lain, daerah-daerah yang miskin akan menelantarkan objek-objek wisata karena ketidakmampuan untuk menyediakan dana perawatan atau pengembangannya. Demikian juga dengan hotel-hotel atau prasarana penginapan lainnya, akan terjadi pola penumpukan hotel pada satu daerah tertentu yang pada tahap selanjutnya akan menambah keruwetan dalam penanganan dan menciptakan persaingan sehat antar-hotel. Demikian juga promosi, makin sulit untuk melakukan penyamaan visi ke-Indonesiaan dalam rangka pengumpulan dana promosi bersama dari daerah. Untuk itu, perlu dilakukan reformasi dalam bidang promosi ini, sehingga nantinya justru meninggalkan keadaan yang lebih buruk dari yang pernah ada.

Keuntungan dan kelemahan
UU Otonomi Daerah tentu memberikan keuntungan terhadap pengembangan dan perkembangan industri pariwisata. Adapun keuntungan dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah adalah sebagai berikut :
·         Setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk kebijakan pengelolaan sumber daya pariwisata di daerah masing-masing.
·         Hampir seluruh daerah memiliki potensi kepariwisataan yang layak dijual.
·         Memiliki potensi pariwisata yang kaya dan beragam, mencakup jenis wisata alam, laut, sungai, gunung, flora dan fauna, budaya, sejarah, agama, aneka seni atraksi, konvensi, pameran, olahraga, dan sebagainya.
·         Letak gografis Indonesia yang strategis untuk pengembangan destinasi pariwisata.
·         Budaya masyarakat yang adaptif dan terbuka terhadap orang luar dan perubahan baru.
·         Aksesibilitas di beberapa daerah yang sudah mulai cukup memadai sebagai bagian dari program pengembangan pariwisata.
Sedangkan kelemahan penerapan UU Otonomi Daerah terhadap pembangunan sektor pariwisata di Indonesia, diantaranya yaitu :
·         Banyak daerah yang sebenarnya belum siap mengembangkan kewenangan otonomi daerah.
·         Belum ada kepastian hukum, sehingga terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan terkait dengan pembangunan pariwisata.
·         Banyak kebijakan dan peraturan baru di daerah yang tidak kondusif untuk melakukan investasi.
·         Kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pariwisata masih relatif rendah, citra keamanan yang relatif masih negatif.

Rekomendasi
Upaya pengembangan industri panwisata daerah-daerah di Indonesia terutama dalam menghadapi otonomi daerah berkaitan erat dengan berbagai faktor. Oleh karena itu perlu dipahami faktor-faktor yang secara faktual berperan dalam pengembangan industri pariwisata khususnya di daerah-daerah, yaitu:
a). Kualitas Sumber Daya Manusia
Salah satu kunci sukses pariwisata di Indonesia adalah human resources development diberbagai subsistem pariwisata tersebut. Ini menunjukkan bahwa somber daya manusia yang berkualitas memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan industri pariwisata terutama ketika pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan otonomi daerah.
Profesionalisme sumber daya manusia Indonesia merupakan suatu tuntutan dalam menghadapi persaingan global dimana sumber daya manusia yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia yang berkualitas, mempunyai gagasan, inovasi dan etos kerja profesional. Tentu tidak mudah untuk memperoleh tenaga-tenaga profesional di bidang pariwisata paling tidak harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan tenaga kepariwisataan, sehingga pada akhirnya peningkatan kualitas sumber daya manusia terutama di daerah-daerah tujuan wisata berpengaruh positif pada perkembangan industri pariwisata daerah.
b). Promosi Kepariwisataan
Upaya-upaya pengenalan potensi-potensi budaya dan alam di daerah-daerah Indonesia dilakukan dengan jalan melakukan promosi kepariwisataan. Pada abad 21, di mana perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi demikian pesat maka diperkirakan akan terjadi persaingan di pasar global khususnya persaingan di bidang industri pariwisata. Oleh karenanya promosi kepariwisataan merupakan suatu strategi yang harus dilakukan secara berkesinambungan baik di tingkat internasional maupun regional.
Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Indonesia mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, maka masing-masing daerah diharapkan mampu menarik para wisatawan baik mancanegara maupun domestik untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata yang ada di Indonesia dengan jalan semakin meningkatkan promosi kepariwisataannya.
Adalah kenyataan pahit ketika indutri pariwisata di Indonesia mengalami krisis mulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 sebagai akibat ketidakstabilan politik, keamanan, dan ekonomi. Merosotnya jumlah wisatawan di daerah-daerah tujuan wisata pada saat itu merupakan bukti bahwa situasi dan kondisi politik keamanan, dan ekonomi suatu negara berdampak pada terganggunya seluruh kegiatan kepariwisataan.
Prospek pertumbuhan industri pariwisata sangat tergantung pada banyak faktor. Dalam hal ini aspek promosi merupakan salah faktor penentu pengembangan potensi pariwisata khususnya di daerah-daerah Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa promosi memainkan peran kunci dalam kinerja masa mendatang industri pariwisata Indonesia.
c). Sarana dan Prasarana Kepariwisataan
Motivasi yang mendorong orang untuk mengadakan perjalanan akan menimbulkan permintaan-permintaan yang sama mengenai prasarana dan sarana kepariwisataan seperti jaringan telekomunikasi, akomodasi dan lain sebagainya. Dalam hal ini kesiapan sarana dan. prasarana kepariwisataan merupakan salah satu faktor penentu berhasilnya pengembangan industri pariwisata daerah. Terlebih ketika program otonomi telah diterapkan, maka masing-masing daerah dituntut untuk lebih memberikan perhatiannya pada penyediaan sarana prasarana kepariwisataan yang memadai dan paling tidak sesuai dengan standar intemasional.
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata meliputi kegiatan membangun dan mengelola obyek dan daya tarik wisata beserta prasarana dan sarana yang diperlukan. Dengan demikian perlu adanya pembangunan dan pengelolaan sarana prasarana di daerah-daerah tujuan wisata untuk mendukung penyelenggaraan pariwisata.
Sarana prasarana tempat merupakan unsur pokok dalam mata rantai kegiatan industri pariwisata. Apabila pembenahan dan pengelolaan sarana prasarana kepariwisataan ditelantarkan akan berakibat pada tidak tercapainya dampak positif industri pariwisata dalam peningkatan PAD, penciptaan lapangan kerja dan sebagai pendorong pembangunan daerah.
Ketiga faktor di atas merupakan faktor kritis. yang perlu mendapat perhatian serius dalam rangka pengembangan industri pariwisata daerah. Tujuan pengembangan industri pariwisata daerah dapat tercapai apabila ketiga faktor tersebut dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan. Hanya saja perlu disadari bahwa pengembangan pariwisata sebagai industri memerlukan biaya yang tidak sedikit. Terlebih dengan mulai diterapkannya otonomi daerah, maka pola perencanaan yang terpadu mutlak diperlukan sebelum mulai dengan pengembangan industri pariwisata.
Pada dasamya, perencanaan bermaksud memberi batasan tentang tujuan yang hendak dicapai dan menentukan cara mencapai tujuan yang dimaksudkan Dengan demikian pengembangan industri pariwisata suatu daerah perlu mempertimbangkan segala macam aspek. Ini disebabkan industri pariwisata merupakan industri jasa yang tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi selalu berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai sektor lain. Jadi maju mundumya industri pariwisata tidak hanya tergantung pada sektor pariwisata saja.
Adapun strategi dalam kegiatan pengembangan pariwisata di daerah yaitu: (1) Adanya pemahaman yang benar dan tepat mengenai otonomi daerah di kalangan pemerintah, legislatif, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat luas, (2) Pembangunan parwisata daerah hendaknya berorientasi pada pemanfaatan sumber daya pariwisata dalam jangka panjang dengan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar sejak dari awal, (3) Penyusunan rencana dasar pembangunan pariwisata di daerah, kiranya perlu memperhatikan dan diselaraskan dengan kebijakan nasional pembangunan pariwisata, (4) Perlu mengembangkan suatu pendekatan strategi pembangunan daerah yang berporos pada pariwisata dan terintegrasi dengan semua aspek kehidupan masyarakat yang saling bersinergi, selaras, seimbang dan saling menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA
Paturusi, Syamsul Alam. 2015. Materi Kuliah Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Denpasar: Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana.
Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Friday, 9 January 2015

Dualisme pandangan masyarakat Bali terhadap Undang-Undang Desa


Sepenggal  pemikiran dari warga masyarakat  yang  peduli akan kelangsungan adat dan budaya Bali

Om Swastyastu,
Lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang merupakan babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa saat ini menimbulkan polemik dalam tatanan masyarakat Bali. Kehadiran UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Berbagai pandangan muncul dalam wacana diskusi masyarakat Bali. Pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Legislatif, Majelis Desa Pakraman, praktis dan akademisi terus melemparkan “bola panas” ke tengah-tengah masyarakat Bali, yang sampai saat ini belum menemukan titik temu terkait desa mana yang akan didaftarkan.
Oleh karena itu, sebagai warga masyarakat Bali saya merasa terpanggil untuk ikut serta memberikan pandangan saya terhadap Uudang-Undang Desa ini. Lahirnya UU Desa pada prinsipnya memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu sebagai bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kewenangan otonom pada pemerintahan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bali mungkin sebagai salah satu daerah yang paling tersentuh oleh lahirnya UU ini, apalagi untuk pertama kali keberadaan desa adat diakui secara hokum setingkat undang-undang. Namun setelah dicermati, beberapa pasal UU Desa ini tidak sejalan dengan kondisi riil desa-desa di Bali, sehingga penerapannya akan sulit.
Salah satu tujuan lahirnya UU Desa adalah ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa, dimana rata-rata masing-masing desa berpeluang mendapatkan pendanaan dari pemerintah pusat sebesar 1,4 Milyar rupiah. Padahal kalau kita melihat kebelakang, otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat kesalahan dalam pengelolaan administrasi keuangan. Apalagi kalau anggaran sebesar itu dikelola langsung oleh desa adat, bagaimana kesiapan SDM masyarakat desa dalam pengelolaan dan pertanggung jawabannya. Disamping itu, pengelolaan dana yang sedemikian besar akan dapat mengaburkan filosofi “NGAYAH” prajuru desa adat selama ini yang akan rentan menimbulkan konflik-konflik horizontal dalam masyarakat dan dapat membangkitkan sifat materialistis dan komodifikasi dalam pengelolaan aset-aset desa adat.
Semestinya hak-hak otonomi asli tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun termasuk Negara, sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Seperti halnya Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Adat/Desa Pekraman sama sekali tidak mengatur tentang hak otonomi asli pada masing-masing desa pakraman, tetapi hanya bersifat mengayomi, melindungi dan menghormati tatanan  asli yang sudah ada saat ini. Akan menjadi aneh jika kemudian desa pakraman di Bali menyerahkan sebagaian urusannya kepada Negara/desa dinas. Pilihan tersebut juga akan mengalami kendala dalam hal filosofi, kependudukan, penyelenggaraan pemerintahan, kelembagaan, aset dan batas wilayah, karena terdapat beberapa desa adat di Bali yang mewilayahi beberapa desa dinas yang berbeda wilayah Kabupaten/Kota seperti yang banyak terdapat di wilayah Denpasar dan Badung.
Bahkan jika UU Desa ini diterapkan maka akan menjadi pembenar bahwa selama ini di Bali terjadi “dualisme” manajemen pemerintahan desa. Padahal,  tatanan yang sudah ada saat ini  tidak pernah menimbulkan permasalahan maupun pertentangan “kekuasaan” antara desa dinas dan desa adat. Kalau demikian, kenapa harus dipermasalahkan? Jangan-jangan ada kepentingan lain yang sengaja ingin melegalisasi dan memasukan tatanan desa adat ke ranah hukum positif dan masuk dalam struktur birokrasi pemerintah, yang secara logika jelas-jelas dapat melemahkan kewenangan dan otonomi pemerintahan desa adat sendiri. Karena secara struktural dan hokum berada dibawah garis birokrasi pemerintahan yang ada di atasnya. 
Mengapa Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang saat ini menjadi pengayom dan pelindung tertinggi majelis desa pakraman di Bali juga memposisikan pilihan untuk mendaftarkan desa adat? padahal pilihan itu tentunya berkonsekwensi akan melemahkan otoritas dari MUDP sendiri karena secara garis struktur birokrasi, desa adat yang didaftarkan akan berada di bawah pemerintah Kecamatan dan pemerintahan Kabupaten.
Perlu juga diketahui bahwa dalam pasal 8 butir (3) disebutkan bahwa desa yang didaftarkan harus memenuhi syarat (untuk wilayah Bali)  paling sedikit  5.000 (lima ribu)  jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga, jadi tidak semua desa adat di Bali akan memenuhi syarat untuk di daftarkan. Kesimpulannya, kalau selama ini ternyata tidak ada permasalahan, dan batas-batas kewenangan antara desa adat dan desa dinas di Bali sudah sangat jelas, kenapa harus berfikir untuk dirubah? Biarkan desa dinas yang mengatur masalah administrasi kedinasan, dan desa adat berwenang mengatur tatanan ritual adat budaya Bali, toh dalam prakteknya selama ini di Bali masing-masing saling bersinergi dan saling menghormati. Marilah kita berfikir jernih untuk menyikapi polemik  ini, jangan arahkan masyarakat Bali untuk berfikir materialistis dan lokal sentris di tengah eforia otonomi daerah. Karena pilihan kita sekarang akan menentukan nasib dan kelestarian tatanan adat dan budaya Bali di masa yang akan datang. 
Penulis tidak lupa mohon maaf dan mohon masukan dari berbagai pihak, untuk meluruskan jika tulisan ini keliru.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Penulis,
I Wayan Wiwin, SST.Par., M.Par
(Staf Pengajar di IHDN Denpasar)